BAHAYA HASAD
Hasad (dengki) merupakan penyakit hati yang berbahaya bagi manusia,
karena penyakit ini menyerang hati si penderita dan meracuninya, membuat dia
benci terhadap kenikmatan yang telah diperoleh oleh saudaranya, dan merasa
senang jika kenikmatan tersebut musnah dari tangan saudaranya.
Pada hakikatnya penyakit
ini membawa si penderita kepada tidak ridha dengan qadha’ dan qadar Allah
ta’ala, sebagaimana perkataan Ibnul Qayyim rahimahullah,” sesungguhnya hakikat
hasad adalah bagian dari sikap menentang Allah ta’ala, karena ia (membuat si
penderita) benci kepada nikmat Allah ta’ala atas hamba-Nya, padahal Allah
ta’ala menginginkan nikmat tersebut untuknya, hasad juga membuatnya senang
dengan hilangnya nikmat tersebut dari saudaranya, padahal Allah ta’ala benci
jika nikmat itu hilang dari saudaranya, jadi hasad itu hakikatnya menentang
qadha’ dan qadar Allah ta’ala” (1).
Manshur Al-Faqih
berkata:
أَلَا قُلْ لِمَنْ كانَ لِيْ حاسداً
أَتَدْرِيْ عَلَى مَنْ أَسَأْتَ الأَدَب
أَسَأْتَ عَلَى اللهِ فِيْ فَضْلِهِ إذا أَنْتَ لَمْ تَرْضَ مَا قَدْ وَهَب
أَسَأْتَ عَلَى اللهِ فِيْ فَضْلِهِ إذا أَنْتَ لَمْ تَرْضَ مَا قَدْ وَهَب
Katakanlah kepada orang
yang dengki kepadaku,
“tahukah kamu kepada
siapa kamu tidak beradab?.
(sebenarnya) kamu tidak
beradab kepada Allah ta’ala dalam pemberian-Nya
(karena) kamu tidak rela
dengan apa yang telah diberikan oleh-Nya.(2)
Penyakit ini sering
dijumpai di sesama teman sejabatan, seprofesi, seperjuangan, atau sederajat,
oleh sebab itu tak jarang dijumpai pegawai kantor hasad kepada teman
sekantornya, tukang bakso hasad kepada tukang bakso lainnya, guru hasad kepada
guru, orang ahli ibadah atau ustadz atau kyai hasad kepada yang sederajat
dengannya. Jarang dijumpai hasad tersebut pada orang yang berbeda kedudukan dan
derajatnya, jarang kita jumpai tukang bakso hasad kepada kyai atau tukang becak
hasad kepada ustadz, meskipun tidak menafikan kemungkinan terjadinya.
Penyakit hasad hendaknya
dijauhi oleh setiap muslim, karena madharatnya sangat besar, terutama bagi si
penderita baik madharat dari sisi agamanya maupun dunianya. Tidakkah kita ingat
kenapa Iblis dilaknat oleh Allah ta’ala? tidak lain karena sikap hasad dan
sombongnya kepada Adam alaihissalam yang sama-sama makhluk Allah ta’ala.
Dari sisi lain Hasad
juga merupakan sifat sebagian besar orang Yahudi dan Nasrani, sebagaimana
firman Allah ta’ala:
(54 :أَمْ يَحْسُدُونَ النَّاسَ عَلَى مَا
آتَاهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ (النساء
Artinya: Ataukah mereka
(orang Yahudi) dengki kepada manusia (Muhammad dan orang-orang mukmin) lantaran
karunia yang Allah telah berikan kepada mereka?..” (QS.Annisa’ 54).
Allah juga berfirman
tentang hasad mereka:
وَدَّ كَثِيرٌ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ لَوْ يَرُدُّونَكُمْ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِكُمْ كُفَّاراً حَسَداً مِنْ عِنْدِ أَنْفُسِهِمْ مِنْ
بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمُ الْحَقُّ
Artinya: Sebagian besar
ahli kitab (Yahudi dan Nasrani) menginginkan agar mereka dapat mengembalikan
kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman, karena dengki yang timbul dari diri
mereka sendiri, setelah nyata bagi mereka kebenaran…”(QS. Al-baqarah 109).
Oleh sebab itu
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam melarang umatnya dari sifat hasad
tersebut, beliau bersabda:
لاَ تَقَاطَعُوا وَلاَ تَدَابَرُوا وَلاَ تَبَاغَضُوا وَلاَ تَحَاسَدُوا وَكُونُوا إِخْوَانًا كَمَا أَمَرَكُمُ اللَّهُ
Artinya: Janganlah kalian memutuskan tali persaudaraan, saling berpaling ketika bertemu dan saling membenci serta saling dengki, dan jadilah kalian bersaudara sebagaimana yang telah diperintahkan oleh Allah ta’ala. (HR.Muslim) (3)
Allah ta’ala juga memerintahkan Rasul-Nya untuk berlindung kepada-Nya dari kejelekan orang yang hasad, firman Allah:
وَمِنْ شَرِّ حَاسِدٍ إِذَا حَسَدَ
Artinya: (Dan katakanlah wahai Muhammad, aku berlindung kepada Tuhan yang menguasahi subuh) dari kejahatan orang yang dengki ketika dia dengki.(QS. Al-Falaq;5)
Dengan demikian telah jelas bagi kita bahwasanya penyakit hasad ini sangatlah berbahaya bagi kehidupan manusia.
SEBAB-SEBAB HASAD
Sumber dan penyebab
hasad adalah cinta dunia, baik cinta harta benda, kedudukan, jabatan maupun
pujian disisi manusia.
Dunia memang sempit,
sering menyempitkan mereka yang memburu dan mencintainya, sehingga tak jarang
mereka berjatuhan pada lembah hasad, karena tabiat dunia adalah tidak akan bisa
dimiliki kecuali ia berpindah dari tangan satu ke tangan lainnya dan berkurang
jika dibelanjakan. Berbeda dengan Akhirat, Akhirat itu luas, bak langit yang
tak berujung, bak lautan yang tak bertepi, karena sangat luasnya sehingga tidak
menyempitkan orang yang memburu dan mencintainya, sebagaimana kita tidak
menjumpai orang berjejal-jejal untuk melihat keindahan langit di waktu malam,
karena luasnya dan cakupanya terhadap setiap mata yang memandang.
Ibnu Sirin rahimahullah
berkata, “aku tidak pernah hasad kepada seorang pun dalam masalah dunia, karena
jika dia termasuk ahli surga, maka bagaimana aku hasad kepadanya dalam masalah
dunia, padahal dia akan masuk surga?, dan jika dia termasuk ahli neraka, maka
bagaimana aku hasad kepadanya dalam hal dunia, padahal dia akan masuk neraka?”
. (4)
Jika tujuan seseorang
adalah akhirat, maka hatinya bersih dari hasad, tenang, jernih bak air yang
memancar dari mata air pegunungan, lembut bagaikan sutera, tidak ada tempat
bagi hasad didalamnya, bahkan dia senang jika melihat orang lain yang
semisalnya. Akan tetapi jika tujuannya adalah dunia, maka hati sangat rawan
terjangkit hasad, mudah ternoda dan keruh. Oleh sebab itu bagi mereka yang
mempunyai belas-kasihan terhadap hatinya, hendaknya dia meninggalkan cinta
dunia dan menggantikannya dengan cinta akhirat. Karena kenikmatan akhirat
tidaklah menyempitkan orang yang memburunya, ia adalah kenikmatan yang
sesungguhnya, kenikmatan yang luar biasa, tidak sebanding dengan
kenikmatan-kenikmatan dunia, kenikmatan tersebut bisa dirasakan oleh orang yang
sangat mencintainya, mencari dan memburunya di dunia ini, jika seseorang tidak
ingin memburu kenikmatan hakiki tersebut, atau lemah keinginannya, maka dia
bukanlah kesatria, karena yang memburu kenikmatan yang hakiki tersebut adalah
para kesatria. (5)
OBAT HASAD
Setelah kita mengetahui
bahwa hasad adalah penyakit hati yang berbahaya, maka tentunya kita ingin
mengetahui obat dan terapi hasad tersebut.
Sebenarnya penyakit hati
yang satu ini tidaklah dapat diobati dengan pil atau kapsul dari apotik atau
dengan suntik, herbal atau pijat urat, akan tetapi penyakit hati ini hanya
dapat diobati dengan ilmu dan amal.
Adapun
obat yang pertama adalah ilmu, ilmu yang bermanfaat untuk
mengobati hasad adalah pengetahuan tentang hakikat hasad itu sendiri,
diantaranya mengetahui bahwa hasad itu berbahaya bagi si penderita baik bagi
agamanya maupun dunianya. Di dunia, hatinya selalu menderita dan
tersayat-sayat, boleh jadi dia mati karenanya, bagaimana tidak? dia membenci
orang lain yang mendapatkan kenikmatan dan mengharap nikmat tersebut musnah
darinya, padahal, hal itu telah ditakdirkan oleh Allah ta’ala dan tidak akan
musnah sampai saat yang telah ditentukan.
Sebagian Ahli Hikmah
berkata, “Empat orang yang senantiasa berkubang dalam kesedihan, pertama;
pemarah, kedua; orang yang hasad, ketiga; teman para penyair yang tidak bisa
seperti mereka, keempat; orang yang bijaksana yang diremehkan manusia”. (6)
Orang yang hasad ibarat
orang yang melempar bumerang kepada musuh, akan tetapi tidak mengenai sasaran,
bahkan bumerang itu kembali kepadanya dan mengenai mata kanannya sampai
mengeluarkan bola matanya, lalu dia pun bertambah marah dan kembali melempar
kedua kalinya dengan lebih kuat, akan tetapi, bumerang itu seperti semula,
tidak mengenai sasaran dan kembali mengenai mata sebelah kirinya sehingga dia
buta, kemarahannya pun bertambah menyala-nyala, kemudian dia melempar ketiga
kalinya dengan sekuat tenaga, akan tetapi bumerang tersebut kembali
mengenai kepalanya
sampai hancur, sedangkan musuhnya selamat dan mentertawakan dia, karena dia
mati sebab perbuatannya sendiri. Sedangkan di akhirat nanti, dia akan mendapat
adzab dari Allah ta’ala, jika hasad tersebut melahirkan perkataan dan
perbuatan, karena statusnya adalah orang yang telah mendzalimi orang lain
ketika di dunia.
Perlu diketahui pula
bahwa hasad juga tidak berbahaya bagi orang yang dihasad, baik bagi agamanya
maupun dunianya, dia tidak berdosa dengan hasad orang lain kepadanya. Bahkan
dia mendapatkan pahala jika hasad tersebut keluar berwujud perkataan dan
perbuatan, sebab dia termasuk orang yang didzalimi. Kenikmatan yang ada padanya
juga tidak akan musnah karena hasad orang lain kepadanya, sebab kenikmatan
tersebut telah ditakdirkan untuknya.
Adapun
obat kedua adalah amal perbuatan, amal perbuatan yang
manjur untuk mengobati hasad adalah melakukan perbuatan yang berlawanan dengan
perbuatan yang ditimbulkan oleh hasad. Misalnya; jika hasad membuat anda ingin
mencela dan meremehkan orang lain, maka hendaknya anda melakukan hal yang
berbeda yaitu memuji orang tersebut. Kemudian jika hasad itu membuat anda
sombong kepadanya, maka hendaknya anda tawaddu’ kepadanya. Jika hasad membuat
anda tidak berbuat baik atau tidak memberi hadiah kepadanya, maka hendaknya
anda melakukan sebaliknya yaitu berbuat baik dan memberikan hadiah kepadanya (7). Dengan seperti ini -insya Allah- hasad dihati
akan lenyap dan hati kembali sehat dan normal.
HASAD YANG DIPERBOLEHKAN?
Mungkin diantara kita
ada yang bertanya-tanya, apakah benar hasad itu ada yang diperbolehkan?,
jawabannya, marilah kita simak sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam:
لاَ حَسَدَ إِلاَّ فِى اثْنَتَيْنِ رَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ مَالاً فَسَلَّطَهُ عَلَى هَلَكَتِهِ فِى الْحَقِّ وَرَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ
حِكْمَةً فَهُوَ يَقْضِى بِهَا وَيُعَلِّمُهَا. متفق عليه.
Artinya: Tidak ada hasad
kecuali kepada dua orang, yang pertama; kepada seseorang yang telah diberi
harta kekayaan oleh Allah ta’ala dan ia habiskan dijalan yang benar, yang
kedua; kepada seseorang yang telah diberi hikmah (ilmu) oleh Allah ta’ala dan
ia memutuskan perkara dengannya serta mengajarkannya. (HR.Muttafaq alaih) . (8)
Akan tetapi hasad dalam
hadits ini berbeda pengertiannya dengan hasad yang telah disebutkan diatas,
hasad yang ini disebut oleh para ulama’ dengan sebutan Ghibtah yaitu
menginginkan kenikmatan seperti yang telah diperoleh oleh orang lain dengan
tanpa benci kepada orang tersebut, serta tidak mengharapkan kenikmatan itu
musnah darinya.
Syeikh Abdul Muhsin Al
‘Abbad hafidzahullah dalam menjelaskan hadits diatas berkata; “yang dimaksud
hasad disini adalah ghibtah”. (9)
Imam An-nawawi
rahimahullah mengatakan, “ghibtah adalah ingin mendapat kenikmatan sebagimana
yang diperoleh oleh orang lain dengan tanpa mengharapkan nikmat tersebut musnah
darinya. Jika perkara yang di ghibtah tersebut adalah perkara dunia, maka
hukumnya adalah mubah (boleh), jika perkara tersebut termasuk perkara akhirat,
maka hukumnya adalah mustahab (sunnah), dan makna hadits diatas adalah tidak
ada ghibtah yang dicintai (oleh Allah) kecuali pada dua perkara (yang tersebut
diatas) dan yang semakna dengannya”. (10)
Dengan demikian,
hendaknya seorang muslim senantiasa membersikan hatinya dari penyakit hasad dan
menggantinya dengan ghibtah.
Waffaqanallahu waiyyakum
lima yuhibbuhu wayardhaah.
[ Penulis : Ust.
Nur Kholis bin Kurdian ]
(1)
Al-Fawa’id (Hal 157
Cet. Darul Fikr – Beirut).
(2) Nihayatul Arab Fi Fununil Adab ( Juz 3/ Hal 267 Cet.1 Darul kutub al-ilmiyah – Beirut – Lebanon).
(3) Shahih muslim ( Juz 8/ Hal 10).
(4) Raudhatul Uqala’ Wanuzhatul Fudhala’ (Hal. 119 Cet. Maktabah Ashriyah – Beirut).
(5) Mukhtashar Minhajul Qasidin (Hal.188-189 Cet. Maktabah darul Bayan – Damaskus) bittasharruf.
(6) Raudhatul Uqala’ Wanuzhatul Fudhala’ (Hal. 122 Cet. Maktabah Ash-riyah – Beirut).
(7) Mukhtashar minhajul Qashidin (Hal. 189-190 Cet. Maktabah darul Bayan – Damaskus) bittasharruf.
(8) Shahih Bukhari ( No. 6886 Cet.3 Dar Ibnu Katsir – Beirut. Tahqiq Dr..Mushtafa Dibul bugha) Shahih Muslim ( No. 1933 Cet. Darul jiel dan Darul Auqaf al-Jadidah – Beirut).
(2) Nihayatul Arab Fi Fununil Adab ( Juz 3/ Hal 267 Cet.1 Darul kutub al-ilmiyah – Beirut – Lebanon).
(3) Shahih muslim ( Juz 8/ Hal 10).
(4) Raudhatul Uqala’ Wanuzhatul Fudhala’ (Hal. 119 Cet. Maktabah Ashriyah – Beirut).
(5) Mukhtashar Minhajul Qasidin (Hal.188-189 Cet. Maktabah darul Bayan – Damaskus) bittasharruf.
(6) Raudhatul Uqala’ Wanuzhatul Fudhala’ (Hal. 122 Cet. Maktabah Ash-riyah – Beirut).
(7) Mukhtashar minhajul Qashidin (Hal. 189-190 Cet. Maktabah darul Bayan – Damaskus) bittasharruf.
(8) Shahih Bukhari ( No. 6886 Cet.3 Dar Ibnu Katsir – Beirut. Tahqiq Dr..Mushtafa Dibul bugha) Shahih Muslim ( No. 1933 Cet. Darul jiel dan Darul Auqaf al-Jadidah – Beirut).
(9) Syarah Sunan Abu Dawud, hadits “Iyyakum
walhasada” (Maktabah Syamilah 3).
(10) Al-minhaj Syarhu Shahih Muslim Ibnul Hajjaj (Juz. 6/ Hal. 97. Cet.2 – Dar Ihya’ Turats Al-Arabi – Beirut).
(10) Al-minhaj Syarhu Shahih Muslim Ibnul Hajjaj (Juz. 6/ Hal. 97. Cet.2 – Dar Ihya’ Turats Al-Arabi – Beirut).
sumber: www.annajiyah.or.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar